Wae Rebo bakal makin kondang setelah UNESCO memberikan
penghargaan tertinggi (Award of Excellence) untuk rumah adat Mbaru Niang
yang ada di Desa Wae Rebo, Kabupaten Mangarai, Flores Nusa Tenggara
Timur.
Desember 2011, sebuah buku berjudul “Pesan dari Wae Rebo”, teronggok
di sudut salah satu rak obral dalam pameran buku nasional di Jakarta.
Di dalamnya, banyak kisah tentang arsitektur rumah adat di dusun Wae
Rebo. Tentang bagaimana rumah menjadi bagian dari pelestarian warga
setempat atas adat yang mereka pegang teguh dari leluhurnya.
Namun catatan Yori Antar di bagian awal buku menyiratkan sebuah
perjalanan yang seru, dalam, sekaligus unik. Yori dan kelompok arsitek
dari Jakarta tiba di Wae Rebo, Agustus 2008. Mereka bisa disebut turis
Indonesia yang pertama kali datang ke dusun itu walau Wae Rebo lebih
dulu masuk ke dalam daftar kunjungan turis dan peneliti asing. Di tahun
itu saja, sudah ada mahasiswa Taiwan yang ikut program pertukaran
kampung. Sudah ada sekelompok turis Spanyol yang siap trekking dan
menikmati kunjungan ke Wae Rebo yang dingin. Sementara Yori dan
teman-temannya datang dengan baju basah dan kotor akibat bolak balik
terpeleset di hutan.
Catatan itu cukup memancing keinginan berkelana, menjauh dari bising
ibu kota. Dan kemarin, nama Wae Rebo kembali ramai di jagat maya. Maka
semakin banyaklah alasan menuju Wae Rebo. Terutama jika merasa jadi
‘orang Indonesia’ yang tak tau banyak tentang nusantara.
Berikut 7 alasan menuju Wae Rebo, Manggarai, Flores.
1. Rumah adat Mbaru Niang, rumah adat khas suku Manggarai di
dusun Wae Rebo baru saja dianugerahi penghargaan tertinggi (Award of
Exellence) UNESCO Asia Pasific Awards 2012.
Penghargaan ini diumumkan di Bangkok, 27 Agustus 2012, diperuntukkan
bagi proyek konservasi dalam 10 tahun terakhir untuk bangunan tua
berusia lebih dari 50 puluh tahun. Penghargaan ini merupakan penghargaan
tertinggi dalam pelestarian warisan budaya.
Konservasi rumah adat Mbaru Niang, disebutkan UNESCO telah berhasil
mengayomi isu konservasi dalam cakupan luas di tataran lokal. Sebab
proyek konservasi rumah adat berbentuk kerucut itu tidak semata
mempertahaan keberadaan rumah adat sebagai benda mati, tapi sekaligus
menjaga keutuhan tradisi setempat.
Proyek pembaruan rumah adat ini mengalahkan 42 kompetitor dari 11
negara di Asia Pasifik, antara lain konservasi Masjid Khilingrong di
Pakistan, sistem irigasi tua India dan kompleks Zhizhusi di Cina.
2. Dusun Wae Rebo kondang di dunia wisata internasional tapi asing di negeri sendiri.
Kepergian Yori Antar dan kelompoknya ke Wae Rebo tahun 2008
ialah kedatangan orang Indonesia pertama kali ke dusun itu. Blasius
Monta, guru SD setempat yang menjadi ‘penghubung’ ke Wae Rebo, punya
catatan: sejak 2002 Wae Rebo sudah rutin menerima kunjungan turis
ataupun peneliti asing. Misalnya dari Prancis, Inggris, Amerika Serikat,
Taiwan, ataupun negara-negara Eropa lainnya. Tercatat turis Belanda
yang paling banyak mengunjungi Wae Rebo. Hingga 2009, tercatat 480
pelancong ke Wae Rebo dengan 9 orang diantaranya ialah orang Indonesia.
3. Kultur budaya yang jauh dari kekerasan
Membaca mengenai Wae Rebo mungkin akan memancing kita membandingkan
dusun terpencil ini dengan kehidupan di Baduy Dalam, Jawa Barat.
Kehidupan di dusun terpencil dengan adat istiadat yang masih terjaga,
dengan kekeluargaan yang masih kental dan kuat, ialah alasan untuk
‘merasakan bagian lain Indonesia’ yang makin ingar bingar, riuh dan
beringas.
Pada buku “Pesan dari Wae Rebo”, Guru Besar Arsitektur Universitas
Indonesia Profesor Gunawan Tjahjono menulis, tata letak rumah-rumah di
dusun Wae Rebo menggambarkan mereka tidak pernah terlibat peperangan
dengan pihak manapun. Ini lah yang berbeda dengan kebanyakan sistem
desa tradisional di Indonesia yang memiliki pola pertahanan desa.
Apalagi, masyarakat Wae Rebo juga tidak mengenal peralatan persenjataan
kecuali alat bercocok tanam. Mereka memilih ‘terpencil’ untuk lebih
dekat dengan alam.
4. Masyarakat Wae Rebo ramah dan terbuka terhadap pelancong
Karena tidak mengenal kultur berperang, warga lokal Wae Rebo
relatif ramah dan bersahabat dengan pelancong. Mereka memang
mengasingkan diri, tapi terbuka kepada tamu yang datang berkunjung. Poin
ini mungkin akan sedikit menghilangkan ketegangan pelancong yang ingin
mengalami kehidupan singkat di antara masyarakat yang masih teguh
memegang adat istiadat.
5. Alam pegunungan yang cantik dan kaya
Menuju Wae Rebo berarti trekking sekitar 4-5 jam perjalanan di
hutan tropis yang masih kaya. Hutan tropis yang masih terjaga berarti
hutan yang ramai dengan nyanyian burung. Cocok untuk pengalih stress
manusia urban yang terbiasa mendengar jeritan klakson mobil. Siulan
Burung Pacycepala ialah lagu terindah yang ditunggu-tunggu para
pelancong dalam perjalanan mereka menuju Wae Rebo.
Udara di dusun ini cukup dingin, sebab berada di ketinggian 1100
meter diatas permukaan air laut. Pemandangannya pun cantik karena diapit
gunung tinggi dan dilindungi hutan lebat. Dusun Wae Rebo cukup berjarak
dari kampung-kampung tetangga.
6. Ada banyak penerbangan dari Bali dan Lombok ke Labuan Bajo setiap harinya.
Akses yang mudah ialah salah satu faktor yang mengurangi stres
pelancong. Terutama para manusia kota yang terbiasa dengan rutinitas dan
sulit berkelit dari padatnya waktu bekerja.
Makin ramainya penerbangan ke Labuan Bajo akan memudahkan perjalanan
menuju Dusun Wae Rebo. Sebab Labuan Bajo ialah pintu awal menuju Wae
Rebo yang terpencil. Saat ini, tersedia beberapa penerbangan dari
Denpasar ke Labuan Bajo. Begitu juga dari Lombok.
Dari Labuan Bajo, dibutuhkan 5 jam perjalanan darat menuju Dintor.
Letaknya di pantai yang menghadap Pulau Mules. Jalanan aspal antara
Labuan Bajo dan Dintor tergolong sempit, hanya pas dua mobil.
Kemudian, perjalanan berlanjut ke Desa Denge, sekitar 1 jam perjalanan
dari Dintor. Selanjutnya pelancong harus mau jalan kaki melintasi hutan
tropis yang kaya varietas flora dan fauna selama 4-5 jam sebelum
mencapai Wae Rebo.
7. Akomodasi yang tak lagi masalah di Labuan Bajo
Pariwisata di Labuan Bajo yang tengah bergeliat menyuburkan
bisnis hotel di kota kecil itu. Hingga saat ini, tercatat enam hotel
kelas internasional serta puluhan hotel melati di Labuan Bajo. Sejumlah
hotel internasional antara lain Komodo Ecolodge Hotel atapun Jayakarta
Hotel. Mau pilih hotel melati pun oke. Ragam pilihan akomodasi ini
memudahkan pelancong untuk memilih basis tinggal selama berpetualang di
bumi Flores. Selain ke Wae Rebo, Labuan Bajo juga merupakan pintu
gerbang menuju Taman Nasional Komodo. Daftar hotel di Labuan Bajo bisa
dilihat di wego.co.id/hotel/labuan-bajo
Sumber : http://www.wego.co.id/berita/7-alasan-wisata-ke-wae-rebo-flores/
Home / HOUSE /
INFORMATION /
RUTENG /
VILLAGE
/ Wae Rebo pernah dianugerahi penghargaan tertinggi (Award of Exellence) UNESCO Asia Pasific Awards 2012.