Tarian Caci Secara etimologi caci berasal dari dua suku kata'ca' berarti satu dan 'ci' berarti uji. Adalah ritual Penti Manggarai. Upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang satu ini dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan
momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai.
Ritus penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti. Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih,pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu
ke tanah.
Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi
untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya,supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali. Lagu Itu disebut Sanda Lima. Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan
lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan
penghormatan terhadap padi yang telah memberikan
kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan
keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang.
Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku
Manggarai. Sebenarnya, ritual Barong Lodok juga disimbolkan untuk membagi tanah ulayat kepada seluruh anggota keluarga. Tanah yang bakal dibagikan itu mempunyai beragam perbedaan luas, tergantung status sosial. Pembagiannya disimbolkan dengan Moso, yakni sektor dalam Lingko yang diukur dengan jari tangan. Tanah tersebut dibagi berdasarkan garis yang mirip
dengan jaring laba-laba. Tua Teno adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas membagi tanah tersebut.
Sehabis Barong Lodok, prosesi berlanjut ke ritual Barong Wae.
Di sini, warga kembali akan mengundang roh leluhur penunggu sumber mata air. Menurut kepercayaan, selama ini roh leluhur itu telah menjaga sumber mata air, sehingga airnya tak pernah surut. Ritual ini juga menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan mata air bagi kehidupan seluruh warga Desa. Korban yang dipersembahkan adalah seerkor ayam dan sebutir telur.
Rangkaian upacara dilanjutkan dengan ritual Barong Compang. Prosesinya dilakukan di tanah yang berbentuk bulat, yang terletak di tengah kampung. Roh penghuni Compang juga diundang mengikuti upacara penti di rumah adat pada malam hari. Suku Manggarai mempercayai, roh kampung yang disebut Naga Galo selama ini berdiam di Compang.
Bagi suku Manggarai, peranan Naga Galo sangat penting dan amat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya, Naga Galo-lah yang telah melindungi kampung dari berbagai bencana. Mulai dari kebakaran, angin topan, bahkan bisa menghindarkan timbulnya kerusuhan di kampung. Ritual Barong Compang diakhiri dengan langkah rombongan yang masuk ke rumah adat, untuk melakukan upacara Wisi Loce. Di sana, mereka menggelar tikar, agar semua roh yang diundang dapat menunggu sejenak sebelum puncak acara Penti. Keluarga dari rumah adat Gendang dan Tambor melanjutkan acara Libur Kilo. Prosesi yang satu itu bertujuan mensyukuri kesejahteraan keluarga dari masing-masing rumah adat. Uniknya, upacara tadi dipercaya sebagai upaya membaharui
kehidupan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab dalam upacara itu, warga yang bermasalah, dapat membangun kembali hubungan keluarga supaya lebih baik lagi.
Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adatkampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya. Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan
rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pertunjukan Caci diawali dengan pentas tarian Danding,sebelum para jago Caci beradu kebolehan memukul dan menangkis. Tarian itu biasanya disebut juga sebagai Tandak Manggarai, yang dipentaskan khusus hanya untuk meramaikan pertarungan Caci. Gerakan penari Danding lebih enerjik ketimbang tari Vera atau tari Sanda Lima. Para penarinya pun ikut melantunkan lagu dengan lirik yang membangkitkan semangat para pemain caci dalam bertarung. Pertarungan Caci dilakukan oleh dua kelompok, yang masing-masing terdiri dari delapan pemain. Setiap peserta mendapat kesempatan pertama sebagai pemukul, dan selanjutnya bertindak menjadi penangkis serangan.
Tak semua orang suku Manggarai layak beradu keterampilan memukul dan menangkis di arena Caci. Sebab, siapa pun pesertanya harus memenuhi sejumlah persyaratan. Mulai dari mahir memukul lawan, handal menangkis serangan, luwes dalam gerak tari, merdu menyanyikan lagu daerah, serta berpenampilan atletis.
Permainan Caci dijadikan pelajaran berharga bagi anggota suku Manggarai dalam mengendalikan emosi. Pasalnya, meski saling mencambuk dan biasanya bakal terluka sopan santun dalam gerakan di arena, ucapan, dan hormat kepada lawan selalu dijaga para pemainnya. Semua itu dijadikan kebanggaan tersendiri buat masyarakat
suku Manggarai. Sebab, lewat semua ritual tadi, mereka
ditempa untuk selalu bersyukur dan mau saling menjaga
ketenangan batin dan keharmonisan antarwarga Manggarai.
Powered by Telkomsel BlackBerry®