Burung arwah, demikian masyarakat suku Lio di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur menyebut burung langka yang satu ini. Masyarakat umum mengenalnya sebagai burung garugiwa dengan nama latin Pachycephala
nudigula nudigula. Penamamaan burung arwah berkaitan erat dengan lokasi
habitat dan karakteristik kualitas kicauan burung yang luar biasa ini.
Karena keunikan dan kelangkaan burung ini maka tak ayal menjadi daya
tarik lain sekaligus salah satu ciri khas kawasan Taman Nasional
Kelimutu dan Danau Kelimutu. Burung ini seolah menjadi pelengkap mitos
dan kepercayaan masyarakat setempat terkait Kelimutu yang fenomenal dan
sekaligus indah itu.
Burung garugiwa adalah hewan endemik Flores dari sekira 49 jenis burung di kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu (luas sekira 5.356,50 hektar). Di kawasan ini juga terdapat Danau Tiga Warna (Danau Kelimutu)
yang dipercaya masyarakat setempat sebagai kampung arwah. Ketiga danau
tersebut merupakan tempat yang (akan) dihuni arwah-arwah yang telah
meninggal. Penempatan para arwah menurut kepercayaan berdasarkan tingkah
laku selama hidupnya. Karena burung garugiwa habitatnya hanya ada di
kawasan kampung arwah maka kemudian diberi nama burung arwah. Burung
garugiwa mulai dikenal sejak penelitian tahun 2007 yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Taman Nasional Kelimutu menyangkut studi kekayaan flora dan fauna di
Taman Nasional Kelimutu.
Garugiwa disebut burung arwa karena burung ini juga jarang terlihat meski suara kicaunya terdengar nyaring di belantara hutan Taman Nasional Kelimutu dan atau Danau Kelimutu.
Ukuran tubuhnya yang kecil seperti burung pipit dan kecenderungannya
berada di kawasan tinggi membuatnya jarang terlihat. Belum lagi
kebiasaan burung ini yang hanya terdengar berkicau di jam-jam tertentu
saja sehingga menjadikan burung ini terkesan misterius. Untuk
mendengarkan burung garugiwa berkicau biasanya mulai saat Matahari
terbit sekira pukul 05.30 hingga pukul 10.00 WITA. Kicaunya indahnya
seolah menjadi sambutan bagi wisatawan yang pagi-pagi sudah berniat
menikmati keindahan panorama Danau Kelimutu.
Di luar jam itu, jangan harap mendengar apalagi melihat burung ini
karena mereka seolah lenyap tanpa dapat ditelusuri jejaknya. Lokasi dan
tempat mereka bersarang pun belum berhasil dipetakan. Diperkirakan
sarang mereka berada di puncak Gunung Kelimutu sehingga sulit dijangkau
siapa pun.
Kicauan burung garugiwa sangatlah
beragam dan turut ditentukan oleh faktor ketinggian tempat yang menjadi
habitat mereka. Pada kawasan dengan ketinggian sekira 1.400 m dpl,
diperkirakan terdapat sekira 12 jenis atau variasi kicauan. Pada
ketinggian lebih dari 1.400 m dpl, sekira 17 kicauan dapat terdengar
dari satu burung garugiwa. Kabarnya, semakin tinggi tempatnya berada,
makin banyak pula jenis kicauannya. Ragam bunyi kicauannya dapat saja
berupa siulan atau mengeluarkan bunyi serupa ciap (bunyi anak ayam),
suara dentangan mirip lonceng (klang klang), atau bahkan seperti suara besi yang bertubrukan. Inilah hal lain yang menjadikan garugiwa burung istimewa.
Ciri fisik burung garugiwa memiliki bulu kepala berwarna hitam pekat; terdapat sedikit warna pink tua pada bagian bawah paruh (semacam tembolok atau gelambir). Bagian berwarna pink
tua ini akan mengembang saat burung garugiwa berkicau. Sementara itu,
bagian tubuhnya hingga bagian ekor berwarna kombinasi bulu warna hijau
dan kuning zaitun. Pada bagian ekor dan sayapnya, terdapat kombinasi
warna hitam hanya saja tidak segelap warna bulu di kepalanya. Burung ini
gemar bertengger di pohon dengan ketinggian lebih dari 10 meter serta
sangat peka terhadap suara atau gerakan mahkluk lain sehingga akan
membuatnya terbang menjauh.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
tim dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang diketuai oleh
Djuwantoko, populasi burung garugiwa di Taman Nasional Kelimutu
diperkirakan sebanyak 21 ekor atau satu ekor setiap hektar. Wilayah
penelitian mencakup 2 titik di kawasan seluas 20,86 ha. Jumlah yang
terbilang sangat sedikit; karenanya burung ini termasuk dalam kategori
langka. Apalagi jika mengingat bahwa burung garugiwa adalah endemik di
Pulau Flores saja. Mengenai perburuan burung ini, masyarakat lokal punya
kearifan sendiri yang membuat mereka cukup bijak untuk tidak
memburunya. Selain karena perburuan terhadap burung garugiwa adalah hal
yang sulit dilakukan, masyarakat setempat percaya barang siapa yang
mengusik burung ini akan terkena tulah atau kutukan.
Untuk menemukan atau mendengar kicauan
burung ini maka salah satu tempat yang dapat Anda tuju adalah di jalur
Arboretum, yaitu lokasi seluas 4,5 ha di dalam hutan kawasan Taman Nasional Kelimutu.
Di Jalur Arboretum terdapat sekira 250 pepohonan dari 79 jenis pohon
yang sering disinggahi burung cantik pemakan serangga ini. Perlu
diketahui juga bahwa di tempat ini ada flora endemik Flores yang tidak
ada ditemukan di tempat lain. Pepohonan di jalur ini ditata sedemikian
rupa dan dilengkapi dengan papan nama sehingga Anda dapat ikut mengenali
potensi hayati yang dimilikinya. Jalur ini tidak hanya sebagai sumber
genetik (pengembangan budi daya) tetapi juga merupakan tempat
pengembangan riset, pendidikan, kegiatan pariwisata, dan rekreasi
edukatif.
Sumber:www.indonesia.travel
Sumber:www.indonesia.travel
0 komentar:
Posting Komentar