Kampung Tradisional Tenda kabupaten Ende


Ada lebih dari 350 kelompok etnik di negara ini, Dan sejumlah desa tradisional menawarkan kesempatan bagi Anda untuk merasakan berbagai hal unik, seperti kepercayaan kuno dan ritual yang mendominasi kehidupan mereka sehari-hari.

Salah Satunya Desa Tenda merupakan salah satu desa di Kabupaten Ende, Yang masih bertahan hingga sekarang ini. Desa ini terletak 50 km dari kota Ende yaitu di kecamatan wolojita, desa ini memiliki banyak keunikan serta nuansa budayanya masih sangat tradisional dan terdapat beberapa peninggalan sejarah seperti  Kuburan Kuno,megalik, Rumah adat tradisional, Gading Gajah dan lain sebagainya. Pada umumnya Masyarakat desa ini berprofesi sebagai petani karena Desa ini terletak di bawah kaki gunung Kelibara yang membuat daerah ini sangat subur.




Desa Tenda terletak di kaki gunung Kelimutu di ketinggian 500 – 1500 mdpl bagian barat dari pusat kecamatan Wolojita, dengan kondisi alam yang terdiri dari perbukitan dan lembah dengan curah hujan tinggi 4 – 5 bulan dan suhu sekita 25 – 30 derajat celcius. Secara geografis wilayah Desa Tenda berbatasan langsung dengan dengan Gunung Kelibara (Taman Nasional Gunung Kelimutu). Jumlah Penduduk Desa Tenda adalah 814 jiwa (laki-laki 375, perempuan 439). Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani kakao, kemiri dan merica, kaum ibu umumnya menenun kain ikat. Kenapa Desa ini masuk dalam blog saya? Selain menikmati indahnya Gunung Kelimutu Saya kesini juga dalam misi penelitian landscape dan lifescape Desa Tenda dalam hal intensifikasi pertanian. Hal yang membuat saya tertarik dari temuan lapangan adalah land tenurial dan local genius menjaga hutan penduduk desa ini masih lestari di era globalisasi sekarang ini.

Gambaran Pengolahan dan Kepemilikan Lahan dengan Aturan Adat
Desa Tenda didiami oleh suku Embu Leko yang masih memiliki adat yang terjaga sampai saat ini. Desa Tenda memiliki satu orang kepala suku yang telah ditahbiskan secara turun temurun. Kepala suku memiliki aturan-aturan baku mengenai pengelolaan desa yang harus diikuti oleh penduduk desa. Kepala suku utama ini disebut dengan Mosalaki Pu’u. Dalam menjalankan pemerintahannya, Mosalaki Pu’u dibantu oleh Mosalaki Riabewa, yaitu sebagai pelaksana, pengawas dan penjaga aturan-aturan yang telah dikeluarkan oleh Mosalaki Pu’u. Untuk menegaskan keberadaan mereka di Desa Tenda, hanya ada dua rumah adat besar yang dipercaya masyarakat adalah rumah pertama yang dibangun oleh orang pertama desa Tenda yang sudah lebih dari 10 lapis generasi atau sekitar 1000 tahun lalu. Dua Rumah tersebut didiami oleh Mosalaki Pu’u dan Mosalaki Riabewa.

Mosalaki Pu’u juga membagikan kekuasaannya ditingkat kampung, kekuasaan ini dibagikan kepada penduduk dalam bentuk wilayah lahan garapan. Orang yang mendapat lahan garapan ini disebut Kopogana. Penduduk desa menganggap bahwa wilayah Desa Tenda hanya dimiliki seluruhnya oleh satu orang Kepala suku, dimata adat penduduk hanyalah berstatus sebagai penggarap lahan. Dalam proses penggarapan lahan, ada 5 acara adat yang dirayakan secara seremonial oleh penduduk Desa Tenda, yaitu: 

1. Kibi
Kibi adaalah acara adat pada fase pembukaan lahan, acara ini bertujuan untuk meminta hujan kepada leluhur melalui nyanyian syair dan pantun. Pada acara Kibi ini, para penggarap lahan (Kopogana) wajib memberikan seserahan kepada kepala suku (Mosalaki Pu’u) bentuknya berupa beras yang mereka sebut Tosa sebanyak satu bakul. Acara berlangsung setiap tahun biasaya di bulan Agustus – September.

2. Jokaju
Jokaju adalah acara adat untuk tolak bala, penyakit, hama kebun dan kesialan lainnya yang dapat menimpa desa. Bentuk acara ini adalah tarian yang dilakukan bersama yang mereka sebut dengan Gawi, acara ini dilakukan selama 5 hari dan dilakukan ditempat yang berbeda. Pada acara ini para penggarap lahan (Kopogana) juga wajib memberikan seserahan kepada kepala suku (Mosalaki Pu’u) bentuknya berupa beras, moke (minuman keras) dan hewan ternak. Acara berlangsung setiap tahun biasaya di bulan Februari

3. Arekaka
Acara adat pada saat petani mau melakukan tanam, acara ini diisi oleh tari-tarian (Gawi) menyambut roh leluhur dan makan bersama. Para penggarap lahan (Kopogana) wajib memberikan seserahan kepada kepala suku (Mosalaki Pu’u) bentuknya berupa beras yang mereka sebut Tosa sebanyak satu bakul. Acara berlangsung setiap tahun biasaya di bulan November.

4. Mopo
Acara adat menyambut panen atau mau petik hasil. para penggarap lahan (Kopogana) wajib memberikan seserahan kepada kepala suku (Mosalaki Pu’u) bentuknya berupa beras yang mereka sebut Tosa sebanyak satu bakul. Acara berlangsung setiap tahun biasaya di bulan Maret – April. Pada acara ini Mosalaki Pu’u turun ke kebun masing-masing kopogana untuk memetik hasil pertama panen kegiatan ini disebut dengan Rimbe. Setelah Mosalaki Pu’u selesai Rimbe (mengambil hasil panen), barulah masyarakat bisa mulai memanen hasil.

5. Sepa
Acara Adat mensyukuri hasil panen dengan membuat persembahan yang dibuat dari padi, jagung kemudian digantung di batang aur dan ditancapkan ke tanah seperti tiang bendera, Sepa ini dilakukan didepan rumah masing-masing. Acara berlangsung setiap tahun biasaya di bulan Mei.
Disetiap acara adat ini terdapat satu prosesi seserahan dari penduduk yang menggarap tanah berupa berupa beras, moke (minuman keras) dan hewan ternak kepada Mosalaki Pu’u. Ini adalah symbol pengakuan bahwa penduduk hanya menggarap lahan, bukan pemilik lahan sehingga harus menyerahkan rezeki yang didapat kepada sang pemilik lahan (Mosalaki Pu’u). Semua lahan di Desa Tenda diakui masyarakat sebagai tanah adat. Penggarap yang memiliki lahan akan mewariskan lahan kepada anaknya yang laki-laki, anak perempuan tidak mendapatkan hak mewarisi tanah. Dalam hal ekstensifikasi lahan, perluasan lahan penggarap bisa dilakukan dengan membuka lahan baru dengan mengikuti 5 tahap adat yang disebutkan diatas. Ada pula system kontrak lahan, ketika lahan yang dimiliki si penggarap tidak cukup maka dia melakukan hal yang mereka sebut dengan Kewe. Kewe adalah penggunaan lahan orang lain (masih dalam satu desa) dengan cara pembagian yang dibayar berdasarkan persetujuan masing-masing, biasanya pembagian 50:50.

Tanah Desa disebut juga dengan tanah persekutuan adat, sertifikasi kepemilikan lahan secara formal (oleh pemerintah) tidak diakui disini. Dahulu petugas pemerintah pernah datang untuk membantu masyarakat desa mensertifikat lahannya namun tidak bisa karena tidak sesuai dengan konsep tanah persekutuan adat yang dianut desa ini. Peraturan adat ini tidak tertulis namun hidup dimasyarakat, beberapa kali dikonfirmasi dengan orang yang berbeda tetapi tetap saja mereka semua mengakui bahwa tanah persekutuan adat hanya dimiliki oleh Mosalaki Pu’u dan hanya dia yang berhak mengatur penggunaannya. Jika ada penduduk desa yang tidak mematuhi peraturan adat ini maka dia akan dikeluarkan dari kampungnya dan semua hak penggarapan tanah beserta isinya (rumah, kebun) harus diserahkan kembali haknya ke Mosalaki Pu’u.

Hutan dan Aturan Adat
Desa Tenda secara geografis terletak di kaki Gunung Kelibara disebelah utara berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Kelimutu. Dalam konsep adat desa, hutan dan gunung Kelibara adalah milik leluhur mereka. Pada masa penjajahan Belanda di tahun 1930, pemerintahan Belanda masih mengakui hutan lindung dan gunung Kelibara dikelola oleh pimpinan desa, yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Lio. Pada masa pemerintahan Soeharto tepatnya di tahun 1984 keluar peraturan pemerintah bahwa Gunung dan hutan yang berbatasan dengan desa adalah milik Negara dan menjadi hutan lindung. Dalam proses penetapan sebagai hutan lindung negara, masyarakat Desa Tenda mengakui pemasangan batas dalam bentuk pilar serta aturan-aturan pemerintah mengenai hutan lindung tidak disosialisasikan langsung ke mereka. Pada tahun 2002 terjadi penangkapan oleh polisi kehutanan terhadap masyarakat yang memasuki hutan untuk mengambil kayu guna keperluan perbaikan rumah adat.

Rumah adat di Desa Tenda adalah symbol budaya yang sangat berarti untuk mereka. Dalam pengertian mereka bahwa rumah itu adalah induk asal muasal dari seluruh penduduk desa. Bangunan tersebut terbuat dari kayu-kayu pilihan yang hanya terdapat di hutan lindung. Masyarakat desa mengakui mereka tidak sembarang tebang kayu untuk keperluan pribadi melainkan hanya untuk keperluan adat (perbaikan rumah adat). Mereka mempunyai local genius dalam pemanfaatan hutan yang disebut dengan Toa tina. Toa artinya pangkas (tebang), Tina artinya jaga (pelihara), Toa tina adalah local genius dimana kayu yang ditebang merupakan pilihan yang sudah berumur lama dan penebangan terbatas hanya untuk keperluan adat. Selain tebang, mereka juga memelihara kayu-kayu muda yang baru tumbuh untuk keperluan masa yang akan datang. Tidak adanya diskusi dengan masyarakat desa ini mengenai hutan lindung mereka menjadi khawatir, siapakah yang akan menjaga hutan leluhur mereka, apakah aturannya akan sama dengan mereka? Dalam pengaturan hutan Mosalaki Pu’u memiliki petugas penjaga hutan yang disebut dengan Mosalaki koba besi (petugas adat penjaga hutan). Falsafah mereka mengenai penjagaan hutan ini adalah “Mosalaki dai koba besi enga koba ndora supaya wawi mae wo’a besi ro’a mae ruwi” artinya Mosalaki penjaga hutan perlu ada untuk menjaga agar babi (wawi) dan kera (Ro’a) tidak merambah dan merusak hutan tanpa aturan. Babi dan kera diibaratkan sifat manusia yang merusak hutan.





Share on Google Plus

About Noemplas