Pantai Bean di Pulau Lembata,
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan surga bagi para wisatawan
domestik dan mancanegara. Tatkala cahaya mentari retak di horison langit
barat, Bean menyuguhkan panorama alam nan indah. Pantai yang diyakini
sebagai firdaus terakhir ini seolah menguak rahasia keagungan Tuhan atas
tanah Lembata.
Tapi, kini salah satu pantai di pulau yang kesohor dengan perburuan ikan
paus itu berada dalam bayang-bayang kehancuran lingkungan oleh PT
Merukh Lembata Coopers. Anak perusahaan Merukh Enterprise Corp milik
raja tambang nasional Yusuf Merukh itu bakal melebarkan sayap usahanya
di Pulau Lembata setelah hengkang dari Kecamatan Ratatotok, Kabupaten
Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara menyusul protes masyarakat
akibat tercemarnya Pantai Buyat yang merupakan sumber kehidupan
masyarakat.
Gambar di atas merupakan salah satu rekaman fotografer Justice and Peace and Integrity of Creation (JPIC)
OFM Indonesia. JPIC adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kini
ikut membantu mengadvokasi masyarakat atas penolakan terhadap rencana
Pemerintah Kabupaten Lembata mengijinkan Merukh Lembata Coopers
melakukan eksplorasi emas di wilayah Lebatukan dan Kedang. Semua itu
dilaksanakan atas nama kelangsungan hidup serta kelestarian alam dan
lingkungan di Lembata.
Namun, jika rencana pertambangan itu dipaksanakan demi menggelembungkan
pundi-pundi segelintr pejabat dan menambah dollar sang investor, maka
bukan tidak mungkin Pantai Bean dengan untaian pasir putih nan indah
bakal terperengkap dalam bencana lingkungan.
“Kami hidup dengan jagung dan kemiri. Bukan emas. Saya berhasil
menyekolahkan empat anak saya jadi sarjana bukan dari emas tetapi
kemiri, kopi, dan ubi-ubian. Saya beryukur satu anak saya meraih gelar
S-2. Bukan dari emas tapi kemiri dan jagung,” kata Ana Noe, seorang
janda asal Leragere, Lebatukan.